Rabu, 11 Maret 2009

kontrol sosial

Kontrol Sosial

Kontrol sosial mengacu pada suatu proses baik yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan, di mana dalam proses kontrol sosial tersebut masyarakat dibuat agar mematuhi norma-norma yang berlaku di masyarakat . Masyarakat berharap bahwa individu di dalam dirinya sendiri sudah muncul kesadaran untuk mematuhi norma dan mempunyai perilaku yang konform dengan aturan di masyarakat, artinya bahwa perilaku konformi tas itu bersifat inheren di dalam diri individu. Meskipun demikian ada sebagian besar manusia yang harus dilatih untuk menjalankan konformitas di mana proses sosialisasi terlibat di dalamnya. Melalui proses sosialisasi seseorang akan mempelajari perilaku apa yang dapat diterima berkaitan dengan berbagai situasi yang akan dia hadapi, selain itu ia akan belajar perilaku mana yang pantas dan tidak pantas untuk ia laksanakan.

Bentuk kontrol sosial berkaitan dengan pemberian sanksi baik yang berupa hukuman maupun imbalan pada perilaku yang disetujui maupun tidak disetujui oleh masyarakat. Di dalam masyarakat ada berbagai bentuk kontrol sosial seperti bahasa, gosip, ostratisme, intimidasi serta kekerasan fisik yang umumnya dilakukan oleh individu terhadap individu lain. Apapun bentuk kontrol sosial yang dilaksanakan semua itu bertujuan untuk mengembalikan individu yang melakukan perilaku menyimpang maupun untuk mencegah orang untuk menyimpang dan konform terhadap nilai dan aturan yang berlaku di masyarakat .

Peran mahasiswa dalam masyarakat dapat digolongkan sebagai kontrol sosial dan agen pembaharu. Mereka diharapkan mampu melakukan pembaruan terhadap sistem yang ada. Contoh paling fenomenal adalah peristiwa turunnya rezim Orde Baru yang didahului aksi mahasiswa yang masif di seluruh Indonesia.

Di alam demokrasi, perjalanan bangsa membentuk potret mahasiswa sebagai insan yang kritis, netral, dan alat kontrol sosial; sebagai aktor intelektual yang tetap mampu bersikap netral dalam memperjuangkan rakyat. Potret ini membentuk pesona mahasiswa yang mampu menarik simpati masyarakat.

Hingga kini mahasiswa masih dipercaya sebagai aktor intelektual yang tetap mampu bersikap netral dalam memperjuangkan rakyat. Pesona ini dapat dijadikan modal utama gerakan mahasiswa, terutama dalam peranannya membantu upaya pemberantasan korupsi. Menarik kita cermati analogi mahasiswa dalam tulisan Arif Budiman (Prisma, No 11, 1976).

Mahasiswa bak seorang pendeta yang sedang bertapa di gunung (kampus). Ketika terjadi kekacauan di masyarakat, dia turun gunung guna menyelesaikan persoalan. Setelah selesai, barulah dia kembali ke gunung. Menurut penulis, ada tiga upaya yang dapat diambil mahasiswa dalam pemberantasan korupsi.

Pertama, tindakan preventif dengan membantu masyarakat mewujudkan peraturan yang adil dan berpihak pada rakyat banyak. Mahasiswa sekaligus mengkritisi peraturan yang tidak adil dan tidak berpihak kepada rakyat banyak. Kontrol bisa berupa tekanan demonstrasi atau dialog dengan pemerintah maupun lembaga legislatif.

Serupa dengan istilah "gerakan korektif" bagi aksi mahasiswa seperti kata Michael Fremerey (1976). Kedua, tindakan edukatif. Ini bisa dilakukan ketika kuliah kerja lapangan (KKL).Ketimbang sekadar berekreasi, KKL bisa diisi dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan mengenai bahaya korupsi kepada masyarakat.

Hal ini dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk melaporkan indikasi praktik korupsi yang ditemuinya. Ketiga, mahasiswa dapat menerapkan strategi pendampingan kepada masyarakat dalam upaya penegakan hukum kepada pelaku korupsi. Hal ini mampu menambah tekanan aparat penegak hukum untuk bertindak tegas terhadap pelaku korupsi.

Tekanan bisa berupa demonstrasi ataupun pembentukan opini publik. Peran dan fungsi mahasiswa harus kembali dipertegas. Mahasiswa harus mampu mengawasi dan mengontrol Reformasi yang mereka bidani sendiri kelahirannya pada Mei 1998. Seperti kata Arif Budiman, kini saatnya mahasiswa turun gunung. Melulu bertapa di gunung niscaya tak akan mengubah apa-apa.

Sumber : berbagai buku dan situs